Sabtu, 29 November 2014

BAB IV



BAB IV
PENUTUP
4.1  Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka hal-hal yang dapat disimpulkan adalah sebagai berikut :
4.1.1    Awalnya tradisi itu sebagai simbol tradisi agama yaitu merayakan kelahiran nabi Muhammad SAW (maulud), tetapi oleh para keturunan ditambah dengan acara pemandian benda-benda pusaka dan pertunjukan kesenian tradisional.
4.1.2    Pertama-tama acara dimulai pada malam hari hingga pagi sebagai pembukaan acara, lalu diteruskan dengan acara pengambilan benda-benda pusaka di Bumi Alit lalu benda pusaka dibawa ke Nusa Gede (Situ Lengkong) untuk melakukan semedi lalu dibawa ke tempat pemandian yang sudah disediakan untuk dibersihkan, sesudah selesai dibersihkan kemudian dikeringkan memakai kemenyan lalu dibungkus kembali memakai janur dan kain kafan serta ikatannya.
4.1.3    Mempunyai nilai-nilai yang terdapat dalam tradisi Nyangku yaitu nilai Ekonomi, Agama,Budaya, Sosial, yang berpengaruh terhadap masyarakat sekitar.
4.1.4    Pengaruh tradisi Nyangku terhadap masyarakat Panjalu hanya berpengaruh dalam segi ekonomi, karena masyarakat yang mempunyai kepercayaan spiritual adalah orang luar.
4.2  Saran
Dengan hasil yang telah diperoleh, maka hal-hal yang dapat disarankan adalah sebagai berikut:
4.2.1        Nyangku adalah kebudayaan yang sudah ada dari zaman kerajaan Panjalu yang dilaksanakan setiap 1 (satu) tahun sekali pada bulan Robi’ul Awal (Maulud). Dalam kebudayaan tersebut ada acara wayang khas Pajalu yang biasa disebut Wayang Julung, pentas Gemyung, pemandian benda-benda pusaka (peninggalan kerajaan Panjalu), kebudayaan tersebut dilaksanakan oleh sesepuh panjalu dan Yayasan Borosngora dan masyarakat yang terikat dengan acara tersebut. Jadi sebagian masyarakat luas hanya ikut berpartisipasi saja.
4.2.2        Tentang air bekas memandikan benda pusaka karena kebanyakan masyarakat Panjalu sangat begitu percaya akan khasiat air tersebut menurut mereka air itu memiliki banyak berkah, tetapi menurut penulis air itu sangatlah kotor dan sangat lekat dengan kemusyrikan karena percaya akan benda dan air tersebut (dinamisme).
4.2.3        Jangan mengganggap tradisi ini menjadi menyimpang karena salah mengartikan dalam cara prosesnya, bahwa tradisi nyangku ini bertujuan untuk penjalin silaturahmi dan bukan hal-hal yang bukan-bukan.

BAB III



BAB III
PEMBAHASAN MASALAH

3.1  Sejarah Tradisi Nyangku
Panjalu pada masa sekarang merupakan sebuah kecamatan yang berada di sebelah utara Kabupaten Ciamis. Kota kecil ini telah menyimpan berbagai cerita yang menarik dan terpelihara dengan baik secara lisan maupun tertulis, yakni dari cerita rakyat maupun babad. Perjalanan sejarah Panjalu dibagi 2 (dua), yaitu sejarah panjalu lama dari sejak terjadinya kerajaan Panjalu hingga sejarah Panjalu baru. Sejarah Panjalu baru, yaitu sejak masuknya agama Islam sampai runtuhnya kerajaan Panjalu.
Panjalu adalah nama sebuah kerajaan dibagian Ciamis utara yang sekarang menjadi nama sebuah desa, kerajaan Panjalu memiliki 2 (dua) cerita yaitu cerita Panjalu lama dan cerita Panjalu baru. Panjalu lama yaitu saat Panjalu masih memeluk agama Hindu, sedangkan cerita Panjalu baru dari pemerintahan Borosngora yang akhirnya kerajaan Panjalu memeluk agama Islam hingga runtuhnya kerajaan Panjalu, kerajaan Panjalu dipimpin secara turun-temurun  dari mulai Rangga Gumikang sampai dengan Dalem Cakranagara III. “Kelemahan dalam sejarah Panjalu adalah dalam tahun pendirian banyak yang berbeda, jadi sulit untuk menentukan tahun berdirinya dan banyak versi-versinya.” (H. Djaja Sukardja, 2001).
Bumi Alit, Situ Lengkong, dan upacara adat Nyangku merupakan salah satu bukti peningalan sejarah pada waktu agama Islam masuk ke Panjalu. Bumi Alit adalah museum penyimpanan barang-barang peninggalan kerajaan Panjalu seperti pedang, keris-keris para raja, dan lain-lain. Situ Lengkong adalah dermaga air yang dibuat oleh raja Syang Hyang Borosngora, setelah kepulangannya dari Makkah. Upacara adat Nyangku pada zaman dahulu merupakan suatu misi yang agung, yaitu salah satu cara untuk menyebarkan agama Islam di Panjalu. Upacara adat Nyangku dilakukan satu tahun satu kali, yaitu pada tanggal 27 Robi’ul Awal atau akhir bulan Robi’ul Awal (Maulud) pada minggu terakhir hari Senin atau hari Jum’at yang di dalamnya tersusun acara ziarah kubur ke Nusa Gede (Situ Lengkong), pembersihan barang-barang peninggalan raja-raja, tatanan acara dimulai dari pengambilan keris di Bumi Alit, setelah itu keris diambil ke Nusa Gede, setelah diambil ke Nusa Gede keris itu pun dibawa oleh sesepuh Panjalu ke tempat pembersihan untuk dibersihkan dan setelah itu  keris kembali disimpan di Bumi Alit.
3.2  Prosesi Tradisi Nyangku
Penyelenggaraan upacara adat Nyangku dilaksanakan oleh para sesepuh Panjalu, unsur pemerintah desa, instansi-instansi yang terikat, LKMD, tokoh masyarakat, dan para kuncen. Jalannya upacara adat Nyangku dikoordinir oleh Yayasan Borosngora dan Desa.
Sebagai persiapan kegiatan, semua keluarga keturunan Panjalu menjelang Maulud Nabi Muhammad SAW biasanya zaman dulu sering kali mempersiapkan beras merah sebagai bahan sesajen untuk membuat tumpeng. Beras tersebut dikupas dengan tangan dari tangal 1 (satu) Robi’ul Awal sampai dengan 1 (satu) hari sebelum pelaksanaan upacara adat Nyangku. Selanjutnya para warga keturunan Panjalu mengunjungi makam para raja-raja Panjalu untuk berziarah dan memberi tahukan upacara kepada kuncen-kuncen para leluhur Panjalu.
Adapun yang dilakukan setelah itu adalah pengambilan air untuk membersihkan benda-benda pusaka dari 7 (tujuh) sumber mata air yaitu: mata air Situ Lengkong, Karantenan, Kapundunhan, Cipanjalu, Kubangkelong, Pasangrahan, Kulah Bombang Kencana. Pengambilan dilakukan oleh petugas. Keperluan lain yang diperlukan dalam upacara adalah sesajen yang terdiri dari 7 (tujuh) macam makanan yaitu: ayam panggang, tumpeng nasi merah, tumpeng nasi kuning, ikan dari Situ Lengkong, sayur daun kelor, telur ayam kampung, umbi-umbian, dan 7 (tujuh) macam minuman yaitu: kopi pahit, kopi manis, air putih, air teh, air mawar, air bajigur, rujak pisang. Perlengkapan yang lain yang diperlukan dalam upacara adalah 9 (Sembilan) payung dan kesenian gemyung untuk mengiringi jalannya upacara.
Sebelum upacara adat Nyangku dilaksanakan, pada malam harinya diadakan suatu acara mauludan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW yang dihadiri oleh para sesepuh Panjalu serta masyarakat yang datang dari berbagai penjuru dengan susunan acara biasanya yaitu: pembukaan, pembacaan ayat suci Al-Qur’an diteruskan dengan tawasul dan membaca berjanji, penjelasan atau riwayat singkat pelaksanaan Nyangku oleh ketua Yayasan Borosngora yaitu Bapak H.Itik Atong Cakradinata, sambutan-sambutan dari wakil pemerintah daerah, sesepuh Panjalu, kasi kebudayaan Depdiknas Kabupaten Ciamis, uraian mauled Nabi, do’a dan penutup dilanjutkan dengan acara kesenian gemyung yang dilksanakan sampai pukul 03.00 WIB.
Pada pagi harinya dengan berpakaian adat kerajaan para sesepuh Panjalu dan keluarga besar Yayasan Borosngora berjalan beriringan menuju Bumi Alit tempat benda-benda pusaka disimpan, kemudian dibacakan puji-pujian dan Shalawat Nabi Muhammad SAW, setelah benda pusaka dibungkus dengan kain putih, mulailah disiapkan untuk segera diarak menuju tempat pemersihan. Perjalanannya dikawal oleh peserta upacara adat serta diiringi dengan music gemyung dan bacaan Shalawat Nabi. Benda-benda pusaka diarak menuju Nusa Gede (Situ Lengkong). Pada upacara adat Nyangku selain diiringi musiki gemyung juga diiringi oleh upacara adat.
Barisan pembawa umbul-umbul, penabuh gemyung, dan barisan para sesepuh Panjalu berjalan beriringan dengan para pembawa benda pusaka, kemudian setelah sampai di Nusa Gede dengan perahu mereka menuju Nusa Gede dengan dikawal 20 (dua puluh) perahu, kemudian diarak kembali menuju bangunan yang telah dibuat oleh panitia dan ada kasur yang dibuat khusus untuk menyimpan benda pusaka. Satu persatu benda pusaka mulai dibuka bungkusnya lalu diperlihatkan kepada pengunjung sambil dibacakan riwayatnya oleh Haji Itik Atong Cakradinata. Setelah itu benda-benda pusaka mulai dibersihkan dengan air dari 7 (tujuh) sumber mata air memakai jeruk nipis, yang pertama kali dibersihkan adalah pedang Sanghiang Borosngora, setelah selesai dibersihkan lalu diolesi minyak kelapa yang dibuat khusus, setelah itu dibungkus kembali memakai janur kuning dan kain kapan sebanyak 7 (tujuh) lapis dan diikat memakai tali dari benang boeh dan dikeringkan memakai asap dari kemenyan, setelah itu disimpan kembali di Bumi Alit. Pelaksanaan upacara adat Nyangku tidak selamanya dilaksanakan di Nusa Gede Panjalu, kadang juga dilaksanakan di Alun-alun Panjalu tergantung situasi dan kondisi. Walaupun dilaksanakan di Alun-alun Panjalu tetapi tidak mengurangi kesakralan upacara tersebut.
Kadang sebelum rombongan dating ke pusat desa, diadakan penjemputan dengan karesme adat seolah-olah yang dating itu calon pengantin pria dan diramaikan oleh berbagai kesenian diluar kesenian gemyung bahkan di Alun-alun Panjalu sebelum acara adat Nyangku suka dilaksanakan kegiatan pasar malam. Benda-benda yang dibersihkan pada upacara adat Nyangku adalah: Pedang (sebagai senjata pembela dalam rangka penyebaran agama Islam.), Cis (sebagai senjata pembela diri dalam rangka penyebaran agama Islam.), Kujang (bekas membelah belangga yang menutupi kepala Bombang Kencana.), Keris komando (senjata  bekas para raja sebagai tongkat komando.), Keris pegangan para Bupati Panjalu, Panca Woro (senjata perang.), Bangreng (senjata perang.), Goong kecil (sebagai alat untuk mengumpulkan rakyat dimasa lampau.), semua benda pusaka yang ada di keluarga Yayasan Borosngora dan benda pusaka yang berada dimasyarakat Panjalu.
3.3  Nilai-nilai Tradisi Nyangku bagi Masyarakat
3.3.1    Nilai Kebudayaan
Nilai kebudayaan dalam kegiatan tradisi Nyangku ini ada banyak nilai-nilai kebudayaan seperti diadakan pertunjukan musik gemyung, upacara adat, wayang Julung khas Panjalu, yang dilakukan pada acara tradisi Nyangku.
3.3.2    Nilai Ekonomi
Nilai Ekonomi dalam kegiatan tradisi Nyangku ini adalah banyaknya para wisatawan yang dating dari luar daerah, membuat para masyarakat berminat untuk berdagang. Jadi mereka memanfaatkan acara itu sebagai sumber ekonomi.
3.3.3    Nilai Agama
Nilai Agama dalam kegiatan tradisi Nyangku ini adalah upacara adat Nyangku ini dilaksanakan untuk memperingati lahirnya nabi Muhammad SAW pada tangal 27 Robi’ul Awal yang jatuh pada hari Senin dan Jum’at.
3.3.4    Nilai Sosial
Nilai Sosial dalam kegiatan tradisi Nyangku ini adalah pemerintah mengharapkan untuk menyambung tali silaturahmi antara masyrakat yang berdatangan dari berbagai penjuru daerah dengan masyarakat Panjalu.

BAB II



BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1         Pengertian tradisi
Tradisi merupakan gambaran sikap dan prilaku manusia yang telah berproses dalam waktu lama dan dilaksanakan secara turun-temurun dari nenek moyang. Tradisi dipengaruhi oleh kecenderungan untuk berbuat sesuatu dan mengulang sesuatu sehingga menjadi kebiasaan. “budaya, sebagai salah satu smber akhlak dan budi pekerti, memiliki definisi dalam arti sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, budaya mencakup kesenian dengan semua cabang-cabangnya sedangkan dalam arti luas, budaya mencakup semua aspek kehidupan manusia. Menurut sutan takdir alisjahbana, budaya dalam arti sempit adalah adat istiadat, kepercayaan dan seni. Sedangkan budaya dalam arti luas mencakup segala perbuatan manusia, hasil budi manusia, kehidupan manusia sehari-hari.” (Maurits Simatupang, 2002:139-140).

2.2         Pengertian masyarakat
Konsep tentang masyarakat pasti sering kita dengar, seperti : masyarakat desa, masyarakat kota, masyarakat betawi, masyarakat jawa dan sebagainya. Meskipun secara mudah bisa diartikan bahwa masyarakat itu berarti warga. Namun pada dasarnya konsep masyarakat itu sendiri sangatlah abstrak dan sulit ditangkap. Istilah masyarakat berasal dari kata musyarak yang berasal dari bahasa arab yang memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi. Sedangkan dalam bahasa inggris disebut Society. Sehingga bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan social. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah dan identitas. Definisi masyarakat adalah “suatu keseluruhan kompleks hubungan manusia yang luas sifatnya. Keseluruhan yang kompleks sendiri berarti bahwa keseluruhan itu terdiri atas bagian-bagian yang membentuk suatu kesatuan.”  (Peter L. Berger).



2.3         Sejarah dan letak geografis daerah Panjalu
Panjalu adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu yang terletak di ketinggian 731 m dpl dan berada kaki Gunung Sawal (1764 m dpl) Jawa Barat. Posisi Panjalu dikelilingi oleh benteng alamiah berupa rangkaian pegunungan , dari sebelah selatan dan timur berdiri kokoh Gunung Sawal yang memisahkannya dengan wilayah Galuh, bagian baratnya dibentengi oleh Gunung Cakrabuana yang dahulu menjadi batas dengan Kerajaan Sumedang Larang dan di sebelah utaranya memanjang Gunung Bitung yang menjadi batas Kabupaten Ciamis dengan Majalengka yang dahulu merupakan batas Panjalu dengan Kerajaan Talaga.
Secara geografis pada abad ke-13 sampai abad ke-16 (tahun 1200-an sampai dengan tahun 1500-an) Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kerajaan Talaga, Kerajaan Kuningan, dan Cirebon di sebelah utara. Di sebelah timur Kerajaan Panjalu berbatasan dengan Kawali (Ibukota Kemaharajaan Sunda 1333-1482), wilayah selatannya berbatasan dengan Kerajaan Galuh, sedangkan di sebelah barat berbatasan dengan Kerajaan Galunggung dan Kerajaan Sumedang Larang. Ibukota atau pusat kerajaan Panjalu berpindah-pindah sesuai dengan perkembangan zaman, beberapa lokasi yang pernah menjadi pusat kerajaan adalah :
2.3.1        Karantenan Gunung Sawal
Karantenan Gunung Sawal menjadi pusat kerajaan semasa Panjalu menjadi daerah Kebataraaan, yaitu semasa kekuasaan Batara Tesnajati, Batara Layah dan Batara Karimun Putih. Di Karantenan Gunung Sawal ini terdapat mata air suci dan sebuah artefak berupa situs megalitik berbentuk batu pipih berukuran kira-kira 1,7 m x 1,5 m x 0,2 m. Batu ini diduga kuat digunakan sebagai sarana upacara-upacara keagamaan, termasuk penobatan raja-raja Panjalu bahkan mungkin penobatan Maharaja Sunda.
2.3.2        Dayeuhluhur Maparah
Dayeuhluhur (kota tinggi) menjadi pusat pemerintahan sejak masa Prabu Sanghyang Rangga Gumilang sampai dengan Prabu Sanghyang Cakradewa. Kaprabon Dayeuhluhur terletak di bukit Citatah tepi Situ Bahara (Situ Sanghyang). Tidak jauh dari Dayeuhluhur terdapat hutan larangan Cipanjalu yang menjadi tempat bersemadi Raja-raja Panjalu. Konon Presiden I RI Ir Soekarno juga pernah berziarah ke tempat ini sewaktu mudanya untuk mencari petunjuk Tuhan YME dalam rangka perjuangan pergerakan kemerdekaan RI.
2.3.3        Nusa Larang
Prabu Sanghyang Borosngora memindahkan kaprabon (kediaman raja) dari Dayeuhluhur ke Nusa Larang. Nusa Larang adalah sebuah pulau yang terdapat di tengah-tengah Situ Lengkong. Dinamai juga Nusa Gede karena pada zaman dulu ada juga pulau yang lebih kecil bernama Nusa Pakel (sekarang sudah tidak ada karena menyatu dengan daratan sehingga menyerupai tanjung). Untuk menyeberangi situ menuju Keraton Nusa Larang dibangun sebuah Cukang Padung (jembatan) yang dijaga oleh Gulang-gulang (penjaga gerbang) bernama Apun Otek. Sementara Nusa Pakel dijadikan Tamansari dan Hujung Winangun dibangun Kapatihan untuk Patih Sanghyang Panji Barani.
2.3.4        Dayeuh Nagasari Ciomas
Dayeuh Nagasari dijadikan kediaman raja pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana sampai dengan pemerintahan Bupati Raden Arya Wirabaya. Dayeuh Nagasari sekarang termasuk kedalam wilayah Desa Ciomas, Kecamatan Panjalu, Ciamis.
Pada masa pemerintahan Prabu Rahyang Kancana, di Ciomas juga terdapat sebuah pemerintahan daerah yang dikepala oleh seorang Dalem (Bupati) bernama Dalem Mangkubumi yang wilayahnya masuk kedalam kekuasaan Kerajaan Panjalu.
2.3.5        Silsilah Ciomas Panjalu
2.3.5.1         Buyut Asuh.
2.3.5.2         Buyut Pangasuh.
2.3.5.3         Buyut Surangganta.
2.3.5.4         Buyut Suranggading.
2.3.5.5         Dalem Mangkubumi.
2.3.5.6         Dalem Penghulu Gusti.
2.3.5.7         Dalem Wangsaniangga.
2.3.5.8         Dalem Wangsanangga.
2.3.5.9         Dalem Margabangsa.
2.3.5.10           Demang Wangsadipraja.
Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Sumalah dan Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Wargabangsa I.
2.3.6        Demang Wargabangsa I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Arya Wirabaya, berputera Demang Wargabangsa II.
2.3.7        Demang Wargabangsa II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Wirapraja, memperisteri Nyi Raden Siti Kalimah binti Raden Jiwakrama bin Pangeran Arya Sacanata, berputera Demang Diramantri I.
2.3.8        Demang Diramantri I. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara I, memperisteri Nyi Raden Panatamantri binti Tumenggung Cakranagara I dan mempunyai tiga orang anak bernama 1) Demang Diramantri II, 2) Demang Wangsadipraja, dan Nyi Raden Sanggrana (diperisteri seorang Sultan Cirebon).
2.3.9        Demang Diramantri II. Menjabat sebagai Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara II menggantikan Demang Suradipraja. Sedangkan sang adik yaitu Demang Wangsadipraja menjadi Patih Panjalu pada masa pemerintahan Tumenggung Cakranagara III, Demang Wangsadipraja mempunyai dua orang anak yaitu: 1) Demang Prajanagara, dan 2) Demang Cakrayuda.
2.3.10    Demang Prajanagara diangkat menjadi Patih Galuh, sedangkan adiknya yang bernama Demang Cakrayuda diangkat menjadi Patih Kuningan. Demang Cakrayuda memperisteri Nyi Raden Rengganingrum binti Tumenggung Cakranagara II dan menurunkan putera bernama Demang Dendareja.
2.3.11    Demang Dendareja diangkat menjadi Patih Galuh.
2.3.12    Dayeuh Panjalu
Raden Tumenggung Wirapraja kemudian memindahkan kediaman bupati ke Dayeuh Panjalu sekarang. Sementara itu pusat kerajaan Panjalu ditandai dengan sembilan tutunggul gada-gada perjagaan yaitu patok-patok yang menjadi batas pusat kerajaan sekaligus berfungsi sebagai pos penjagaan yang dikenal dengan Batara Salapan, yaitu terdiri dari:
2.3.12.1          Sri Manggelong di Kubang Kelong, Rinduwangi
2.3.12.2          Sri Manggulang di Cipalika, Bahara
2.3.12.3          Kebo Patenggel di Muhara Cilutung, Hujungtiwu
2.3.12.4          Sri Keukeuh Saeukeurweuleuh di Ranca Gaul, Tengger
2.3.12.5          Lembu Dulur di Giut Tenjolaya, Sindangherang
2.3.12.6          Sang Bukas Tangan di Citaman, Citatah
2.3.12.7          Batara Terus Patala di Ganjar Ciroke, Golat
2.3.12.8          Sang Ratu Lahuta di Gajah Agung Cilimus, Banjarangsana
2.3.12.9          Sri Pakuntilan di Curug Goong, Maparah